KESEHATAN
MENURUT ALQURAN DAN HADIST
Disampaikan pada
diskusi kuliah els Prodi farmasi UMY
Konsep sehat dan
kesehatan merupakan dua hal yang hampir sama tapi berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938)
adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan
berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977),
sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak
mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan
kelainan.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pun mengembangkan defenisi tentang sehat. Pada sebuah
publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat didefenisikan sebagai suatu keadaan dan
kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor
keturunan dan lingkungan yang dimiliki. Sementara konsep WHO tahun 1974,
menyebutkan Sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak
hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah
Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah,
ruhaniyah dan sosial” yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib
disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya, dan memelihara serta
mengembangkannya.
Kesehatan dalam pandangan Islam
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya
untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
Setidaknya
tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam
amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling
tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
1.
Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2.
Afiat.
Keduanya
dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan dengan “sehat”. Afiat
diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan
sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Istilah
sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati
diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri),
karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh
kata yang tidak disebut.
Pakar
bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat
berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti “dan” adalah kata penghubung
yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat)
dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan
makna di antara keduanya.
Dalam
literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak
doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam
kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai “perlindungan Allah untuk
hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya”. Perlindungan itu tentunya
tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan
petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai: “berfungsinya
anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.”
Kalau
sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya
dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun
membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat
melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan
dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari
penciptaan mata.
Sesuai dengan
Sunnah Nabi umat Islam diajarkan untuk senantiasa mensyukuri nikmat kesehatan
yang diberikan oleh Allah SWT. Bahkan bisa dikatakan Kesehatan adalah nikmat Allah SWT yang terbesar yang
harus diterima manusia dengan rasa syukur. Bentuk syukur terhadap nikmat Allah
karena telah diberi nikmat kesehatan adalah senantiasa menjaga kesehatan.
Firman Allah dalam Al Quran, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
(Surah Ibrahim [14]:7).
Sebagai
seorang Muslim, keyakinan atas kondisi sehat seseorang terkait takdir pula.
Meski sudah berperilaku sehat, apabila Allah mentakdirkan ia sakit maka
seseorang akan menderita kesakitan. Apabila seseorang ditakdirkan oleh Allah
untuk sehat maka sehatlah ia. Janji Allah SWT dalam Surah Asy Syu’araa’ [26]:
78 – 82: “(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki
Aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu. Dan apabila aku
sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali). Dan
yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”.
Hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi SAW bersabda: Setiap penyakit pasti ada
obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk mengobatinya, maka dapat
memperoleh kesembuhan atas izin Allah SWT (HR. Muslim). Bahkan
Allah SWT tidak akan menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan obatnya,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Nabi SAW
bersabda: Allah SWT tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya
(HR Bukhari).
Makna kesehatan
menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam diri manusia, baik jasmani maupun
ruhani, lahir maupun batin, baik tauhid rububiyah (insaniyah)
maupun uluhiyah (ilahiyah) sejak dari awal kehidupan hingga
di hari kebangkitan. Istilah kesehatan jasmani dalam kajian ini lebih
difokuskan pada perilaku amal shalih dan bukan sekedar berorientasi pada bentuk
jasadiyah, badaniyah maupun harta kekakayaan, tetapi sekali
lagi bahwa kesehatan jasmani di sini lebih mengarah pada amal perbuatan yang
didasarkan pada nilai-nilai ruhaniyah uluhiyah maupun rububiyyah.
Kesehatan
amaliyah inilah yang dapat bertahan hingga hari kebangkitan. Sedangkan
kesehatan jasadiyah, badaniyah maupun ekonomi dapat dipahami sebagai
raga, alat atau media yang dapat dimanfaatkan dalam mencapai kebersihan amal
dengan melalui pertimbangan tauhid rububiyah maupun uluhiyah.
Boleh jadi jasad, raga, alat dan media tidak permanen, melainkan bisa bergeser,
berubah dan rusak, demikian pandangan Aswadi
Syuhadak.
Kesehatan Fisik
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu
kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar
Islam antara lain kesehatan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk
kepada ketiga jenis kesehatan itu. Dalam
konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah bertanya
(kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan selalu berjaga
di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya Rasulullah.”Rasulullah saw pun
lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu,
berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu,
matamu mempunyai hak atas dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Demikian
Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas dalam
beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya
terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai
dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.”
Salah
satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga
kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat (taubah) seperti firman Allah:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri." (QS al-Baqarah [2]: 222)
Tobat
menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan
kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw.
adalah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ(5)
"Dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah." (QS
al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Perintah
tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan
nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang
berbunyi:
النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
"Kebersihan
adalah bagian dari iman."
Hadis
ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if. Kendati begitu, terdapat
sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi
Saw.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman,
terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah ucapan “Tiada
Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan,
dan malu itu adalah sebagian dari iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Perintah
menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas
sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau
di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam
dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal ‘karantina’,
Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
"Apabila
kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu,
tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya." (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Usamah bin
Zaid)
Ditemukan
juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-Mâ’idât Bait
Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan — baik dari al-Quran
maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS al-A’râf [7]: 31)
Penjabaran
peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Dari
Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk
daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan
tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti
lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya. (Hadis Riwayat at-Tirmidzi).
Perlu
pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan,
berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali
(wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut
rijs.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua
itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145).
Kata
rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat
serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi
Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity and Education, yang mengutip
pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah
Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang
dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum
diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang
memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
kuantitas dan kualitas makanan.
Para
ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqa’i
dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.:
المَرَضُ سَوْطُ اللهِ فِى الأَرْضِ يُؤَدِّبُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ
"Penyakit
adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik
hamba-hamba-Nya."
Pendapat
ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia,
adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain
membuktikan bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan
makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit
merupakan siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari
sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa
penyakit.
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
"Berobatlah,
karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan." (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi
dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik).
Bahkan
seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka
prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan
dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan.
Namun
dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah “sebab”,
sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah
Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan al-Quran:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
"Apabila
aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku." (QS al-Syu’arâ’ [26]: 80)
Pola
hidup Bersih dan Sehat
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.
Q.S. al-Isrâ'/17: 70.
Di antara faktor yang
mengantarkan kita menjadi manusia mulia adalah kemampuan mendapatkan al-thayyibât
(hal-hal yang baik-baik). Al-Thayyibât mengandung makna halal, bersih
dan sehat. Dalam al-Quran kata-kata al-thayyibât sering digunakan
untuk menunjuk pada makanan (Q.S. al-Mâidah/5: 4-5, al-Mu'minûn/23: 51) dan
rizki pada umumnya baik yang bersifat material, intelektual, maupun spiritual
(Q.S. al-Anfâl/8: 26, Yûnus/10: 93, al-Nahl/16: 72). Kita akan menjadi mulia
kalau mampu memadukan secara imbang pola hidup bersih dan sehat baik secara
intelektual, spiritual, maupun material. Rasulullah SW bersabda:
Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan
mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai
kedermawanan, maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai
orang Yahudi.” (H.R. al-Tirmidzi.)Diantara pola hidup bersih dan sehat itu adalah
1. Positif
thinking
2. Sucikan
hati
3. Bersihkan
harta dan lingkungan
Majlis
Tarjih Muhammadiyah dan Rokok
Muhammadiyah telah mengeluarkan larangan merokok
bagi warganya.
Apakah alasan utama dikeluarkanya fatwa
haram merokok?
Wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang
merupakan hak setiap orang dan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqâshid
asy-syarî’ah).
Apa dalil yang melandasi diambilnya
keputusan bahwa Merokok hukumnya adalah haram?
- Merokok termasuk kategori perbuatan
melakukan khabâ’its yang dilarang dalam QS. 7: 157.
- Perbuatan merokok mengandung unsur
menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh
diri secara perlahan sehingga itu bertentangan dengan larangan Alquran
dalam QS. 2: 195 dan 4: 29,
- Perbuatan merokok membahayakan diri
dan orang lain yang terkena paparan asap rokok sebab rokok adalah zat
adiktif plus mengandung 4000 zat kimia, 69 di antaranya adalah
karsinogenik/pencetus kanker (Fact Sheet TCSC-AKMI, Fakta
Tembakau di Indonesia) sebagaimana telah disepakati oleh para ahli medis
dan para akademisi kesehatan. Oleh karena itu merokok bertentangan dengan
prinsip syariah dalam hadis Nabi saw. bahwa “tidak ada perbuatan
membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
- Rokok diakui sebagai zat adiktif dan
mengandung unsur racun yang membahayakan walaupun tidak seketika melainkan
dalam beberapa waktu kemudian sehingga oleh karena itu perbuatan merokok
termasuk kategori melakukan sesuatu yang melemahkan sehingga bertentangan
dengan hadis Nabi saw yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan
melemahkan.
- Oleh karena merokok jelas
membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan
asap rokok, maka pembelanjaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan
mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam QS. 17: 26-27.
- Merokok bertentangan dengan
unsur-unsur tujuan syariah (maqâshid asy-syarî’ah) yaitu (1)
perlindungan agama (hifzh ad-dîn), (2) perlindungan jiwa/raga (hifzh
an-nafs) lih. No.11, (3) perlindungan akal (hifzh al-aql)
lih. No. 12 & 13, (4) perlindungan keluarga (hifzh an-nasl)
lih. No. 12 & 13, dan (5) perlindungan harta (hifzh al-mâl).
Bagaimana
hukum fatwa ini bagi bukan perokok?
Mereka
yang belum atau tidak merokok wajib menghindarkan diri dan keluarganya dari
percobaan merokok sesuai dengan QS. 66:6 yang menyatakan, “Wahai orang-orang
beriman hindarkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
blog : http://dahayuspa.blogspot.com/
Facebook : dahayuspa
Twitter : dahayu_spa
instagram : dahayuspa
kik : dahayuspa
bb : 767F8700
hp : 085722365881
Facebook : dahayuspa
Twitter : dahayu_spa
instagram : dahayuspa
kik : dahayuspa
bb : 767F8700
hp : 085722365881
0 komentar:
Posting Komentar